Senin, 05 November 2007

Hipertensi dalam kehamilan

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


DEFINISI
HIPERTENSI didefinisikan sebagai keadaan dengan tekanan darah diastolik minimal 90 mmHg atau tekanan sistolik minimal 140 mmHg, atau kenaikan tekanan diastolik minimal 15 mmHg atau kenaikan tekanan sistolik minimal 30 mmHg, tekanan darah harus diukur minimal 2 kali dengan jarak waktu minimal 6 jam. 4 Jika terjadi kurang dari 20 minggu atau terjadi setelah 48 jam postpartum atipikal eklamsia.

PREEKLAMSIA adalah keadaan dimana hipertensi disertai proteinuria atau edema atau keduanya yang terjadi akibat kehamilan pada minggu ke-20 atau kadang terjadi lebih awal bila terdapat perubahan hidatidiformis yang luas pada villi korialis (pada kasus molahidatidosa). 4 Dominan terjadi pada primigravida dan meningkat 7-10 kali pada kehamilan berikutnya. PEB mempunyai kemungkinan diturunkan, sehingga dikatakan ada faktor genetik, oleh karena itu wanita yang saat dilahirkan ibunya eklamsia akan lebih mungkin eklamsia dibandingkan yang tidak.Damar

EKLAMSIA didiagnosis bila pada wanita dengan diagnosis preeklamsia, mengalami kejang-kejang yang bukan disebabkan oleh kelainan neurologis lain seperti epilepsi. 4,28 Ada ahli yang berpendapat perlu stabilisasi tekanan darah dan keadaan umum terlebih dahulu selama 4-6 jam baru terminasi, namun menurut Prof. Gulardi langsung terminasi.

SUPERIMPOSED PREECLAMSIA ATAU ECLAMSIA adalah keadaan preeklamsia atau eklamsia yang terjadi pada wanita yang menderita hipertensi vaskular kronis atau penyakit ginjal. 4

HIPERTENSI KRONIS adalah penyakit hipertensi yang menetap dengan penyebab apapun dan sudah diderita sebelum kehamilan atau pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu 28 tanpa adanya mola hidatidosa atau hipertensi yang menetap setelah 6 minggu post partum. 4

HIPERTENSI dalam KEHAMILAN ( HIPERTENSI GESTASIONAL) / TRANSIENT HYPERTENSION, kenaikan tekanan darah yang timbul pada paruh kedua masa kehamilan atau dalam waktu 24 jam post partum, tanpa disertai tanda-tanda lain preeklamsia atau hipertensi kronis yang mendasarinya dan sembuh dalam waktu 10 hari setelah persalinan. 4

Namun tidak semua penderita dapat digolongkan secara tepat dalam salah satu kategori kelainan ini.

PATOFISOLOGI
Terpapar villi khorialis untuk pertama kalinya (primi), atau terpapar villi khorialis dalam jumpa yang berlimpah, misalnya pada gemelli atau mola.4 Pada kehamilan normal, invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua menghasilkan suatu “perubahan fisiologis” pada arteri spiralis, karena suplai darah yang dibutuhkan pada kehamilan meningkat, maka diameter arteri spiralis harus membesar, yang menurut hukum Poiseuille’s meningkat 4 sampai 6 kali. Kemampuan untuk melebarkan diameter arteri spiralis merupakan kebutuhan utama untuk keberhasilan suatu kehamilan. Hasil akhir dari perubahan fisiologis tadi adalah arteri spiralis yang sebelumnya tebal berubah menjadi kantung elastis yang lebar, bertahanan rendah, sehingga memungkinkan suplai darah yang adekuat untuk oksigenasi dan nutrisi bagi janin.1 Pada ibu yang mengalami “defisiensi plasentasi” akan menyebabkan tidak terjadinya secara sempurna “perubahan fisiologis” arteri spiralis tersebut, sehingga hanya sebagian arteri spiralis segmen desidua yang berubah, sedang arteri apiralis segmen miometrium masih diselubungi oleh sel-sel otot polos. Selain itu juga ditemukan adanya hiperplasia tunika media dan trombosis, sehingga diameter arteri spiralis 40% lebih kecil dibandingkan kehamilan normal sehingga timbul penyumbatan yang dapat bersifat parsial ataupun total. Hal inilah yang menimbulkan insufisiensi, hipoksia dan iskemia dan timbul preeklamsia. 1,6,27

Hipotesis yang penting pada patogenesis dari preeklamsia adalah terdapatnya senyawa yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang masuk ke sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan endotel. Perubahan fungsi endotel yang terjadi dianggap sebagai penyebab utama timbulnya gejala preeklamsia: hipertensi, proteinuria dan aktivasi sistem hemostasis.1,3

Senyawa yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang dapat merusak endotel itu adalah hasil metabolisme lipid terutama yaitu peroksidase lipid. Peroksidase lipid ini diproduksi pada saat radikal bebas menyerang asam lemak tidak jenuh dan kolesterol

pada membran sel dan lipoprotein. Peroksidase lipid merupakan zat toksik yang bisa menyebabkan kerusakan sel baik secara langsung maupun tidak langsung.1

Keadaan hipoksia yang terjadi dapat meningkatkan jumlah xantin dehidrogenase yang terkonversi menjadi xantin oksigenase yang akan mendegradasi purin, xantin dan hipoxantin menjadi asam urat. Dalam proses degradasi tersebut terbentuk juga superoksida yang merupakan suatu radikal bebas yang poten.7 Terjadinya reaksi radikal bebas ini ditandai dengan meningkatnya lipid peroksida pada pasien preeklamsia dibandingkan dengan dengan kehamilan normal.
Reaksi radikal bebas inilah yang akan menimbulkan disfungi endotel, yaitu terjadi endoteolisis dan perubahan ultrastrukturnya pada alas plasenta dan pembuluh darah uterus,1 karena radikal bebas ini bereaksi dengan membran sel sehingga terbentuk lipid peroksidase dan aldehida yang toksik sehingga dapat mematikan sel.8

Hipotesis yang lain adalah adanya prekusor neurokinin B (NKB) dari bovine, yang bekerja melalui reseptor NK3, yang menstimulasi timbulnya vasokonstriksi dan kontraksi vena mesenterika serta vena portal hati, yang menyebabkan rusaknya janin dan hati. Dengan demikian menyebabkan terakumulasinya zat toksik seperti lipid peroksidase, yang makin memperberat rusaknya endotel.1 Mutasi faktor Leiden V yang disebut-sebut sebagai penyebab genetik timbulnya preeklamsia, hanya ada pada orang Eropa buka orang Indonesia. Pada preeklamsia homocystein meningkat karena tak bisa jadi methionin, proses ini membutuhkan vit B12. Damar

Menjadi perhatian kita bahwa ringannya hipertensi tidak selalu mencerminkan ringannya penyakit. Karena hipertensi yang timbul sebenarnya merupakan kompensasi tubuh untuk memenuhi suplai darah ke organ-organ. Memang ada teori yang mendukung bahwa beratnya preeklamsia sebanding dengan beratnya hipertensi, yaitu teori peningkatan produksi tromboxan A2 dan menurunnya produksi prostasiklin oleh plasenta dan trombosit sehingga timbul vasokonstriksi yang berbanding lurus dengan beratnya hipertensi. Menurunnya produksi prostasiklin juga disebabkan karena meningkatnya konsentrasi progesteron dalam kehamilan.4 Namun perlu diingat bahwa 20% eklamsia timbul pada kondisi tekanan darah yang tidak terlalu tinggi5, karena ternyata ada etiologi lain (oksidan-antioksidan) yang telah dijelaskan sebelumnya.

Hal inilah yang terjadi pada ibu dengan preeklamsia dimana terjadi ketidak- seimbangan produksi tromboxan A2–prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi dan juga mungkin terjadi reaksi radikal bebas yang menyebabkan rusaknya endotel-endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel pembuluh darah di ginjal ditandai dengan lolosnya protein pada filtrasi glomerulus sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun dan adanya hipertensi yang

GAMBARAN ADHESI LEUKOSIT DI SEL ENDOTEL
menyebabkan tekanan hidrostatik intravaskuler meningkat sehingga terjadi ekstravasasi cairan ke ekstravaskuler ke interstisial, timbullah edema tungkai, dan edema pulmonum. Tidak semua endotel mengalami kerusakan karena terdapat heterogenitas endotel sehingga tidak semua endotel mengalami disfungsi. Endotel sendiri berperan untuk mengatur tonus otot vaskuler, adhesi leukosit dan inflamasi serta memelihara keseimbangan trombosis dan fibrinolisis.1

YANG TERJADI PADA PREEEKLAMSIA-EKLAMSIA
Kardiovaskuler : vasospasme menyeluruh, resistensi pembuluh darah perifer meningkat, stroke work index ventrikel kiri meningkat, central venous pressure menurun, pulmonary wedge pressure menurun.
Hematologi : volume plasma menurun, viskositas darah meningkat, hemokonsentrasi, koagulopati.
Ginjal : glomerular filtrasi rate menurun, renal plasma flow menurun, uric acid clearence menurun
Hepar : necrosis periportal, kerusakan hepatoselluler, subcapsular hematome.
SSP : edema serebri dan perdarahan cerebri.
Otak : Tekanan darah meningkat, cerebral perfusion pressure meningkat dari 60-120 mmHg pada kondisis normal menjadi 130-150 mmHg, akan terjadi kegagalan autoregulasi sehingga pembuluh darah vasodilatasi yang akhirnya menimbulkan iskemia, terjadi peningkatan permiabilitas pembuluh darah otak, eksudasi plasma, edema otak, kompresi pembuluh darah otak sehingga aliran darah otak menurun. Pada CT scan otak didapatkan: edema cerebral, perdarahan otak (diintraventrikular, bisa diparenkim), infark otak.

DIAGNOSIS
Preeklamsia jarang timbul sebelum minggu ke-20 kehamilan, dan jika terjadi biasanya keadaan ini terdapat pada kasus mola hidatidosa atau degenerasi mola yang jelas .4
· Meningkatnya tekanan darah (untuk mengurangi kesalahan, pengukuran dilakukan dengan pasien posisi duduk). 27 Diagnosis preeklamsia ditegakkan berdasarkan peningkatan tekanan darah mencapai lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg; atau adanya peningkatan darah sistolik > 30 mmHg atau diastolik > 15 mmHg. 28 Bila tekanan darah mencapai atau lebih dari 160/110 mmHg, maka preeklamsia disebut berat. 28 Preeklamsia termasuk kriteria berat pula walaupun tekanan darah belum mencapai 160/110 mmHg, jika ditemukan gejalalain seperti berikut ini : proteinuria 3 (+) pada test celup, oliguria ( < 400 cc/24 jam), sakit kepala hebat dan gangguan penglihatan, nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas abdomen atau ada ikterus, edema paru atau sianosis, trobositopenia, PJT. 28 Protein, proteinuria sebagai indikator prognosis. Sehingga diperlukan pemeriksaan serial.27 Bahkan Chesley (1985) secara tepat menyimpulkan bahwa tanpa adanya proteinuria diagnosis preeklamsia meragukan, namun pada tahun yang sama Chesley juga mengemukakan bahwa 10 % dari kejang eklamsia timbul sebelum timbulnya proteinuria nyata, sehingga perlu segera diambil tindakan meskipun naiknya tekanan belum disertai oleh proteinuria. 4 Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin 24 jam atau 100 mg atau lebih per dL pada sekurang-kurangnya dua sampel urin yang diambil dengan selang waktu 6 jam .4
· Vasospasme, dengan pemeriksaan optalmologi, dapat dipakai untuk mengevaluasi perkembangan penyakit. Pada preeklamsia berat terjadi peningkatan ratio vena arteri (normal 4:3) dan vasospasme segmental 27.
· Pertambahan berat badan dan edema 27 .Banyak ahli yang sepakat bahwa edema pada tangan dan muka , sangat sering ditemukan pada wanita hamil, sehingga diagnosis preeklamsia tidak dapat dipastikan dengan adanya edema dan tidak dapat disingkirkan dengan tidak adanya edema .4
· Nyeri epigastrium atau nyeri abdomen pada kwadran kanan atas dianggap terjadi akibat nekrosis dan edema sel-sel hati yang meregangkan kapsula Glissoni.4 Nyeri yang khas sering disertai dengan naiknya kadar enzim-enzim hati di dalam serum dan biasanya memerlukan segera terapi definitif. Kadang rasa nyeri mendahului ruptura hematoma supkapsuler hepar. 4
· Trombositopeni merupakan tanda khas preeklamsia yang memburuk, yang mungkin disebabkan oleh hemolisis mikroangiopati yang timbul karena vasospasme hebat.4

Wanita biasanya tidak mengemukakan keluhan dan jarang memperhatikan tanda-tanda preeklamsia, atau karena memang minimnya pengetahuan tentang hal tersebut, maka untuk deteksi dini diperlukan pengamatan yang cermat dengan masa interval pemeriksaan yang tepat selama ANC, terutama bagi wanita yang diketahui mempunyai faktor predisposisi preeklamsia, seperti: nulliparitas, adanya riwayat preeklamsia pada keluarga, janin multiple, diabetes, penyakit vaskuler kronik, penyakit ginjal, molahidatidosa dan hidrops fetalis.2,3,4
Edema paru merupakan kondisi yang dapat mengancam jiwa pasien, yaitu suatu keadaan di mana terjadi peningkatan jumlah cairan interstisial paru dan alveoli paru yang melebihi kemampuan drainase sistem limfatik, yang disebabkan karena:(1) peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler, (2) rendahnya tekanan onkotik intravaskuler akibat hipoalbuminemia,10 (3) juga karena meningkatnya permiabilitas vaskuler karena rusaknya endotel pembuluh darah paru, yang semuanya terjadi karena proses preeklamsia.1, 11 Timbulnya edema pulmonum mengganggu proses oksigenasi di paru sehingga timbul hipoksemia berat yang ditandai dengan turunnya PO2, sehingga menimbulkan hipoksia berat.9 Keadaan ini dapat menimbulkan pertumbuhan janin terhambat hingga kematian janin intra uterin.

Kadar hemoglobin dapat menurun, diperkirakan karena proses hemolisis masif akibat dari meningkatnya tekanan osmotik dan kerapuhan dinding sel, yang seharusnya dibuktikan dengan adanya hiperbilirubinemia, atau dari pemeriksaan apus darah tepi didapatkan adanya morfologi sel darah merah berupa schistocytes dan Burr cells, ditemukannya sel Helmet karena eritrosit yang rusak. Sedangkan trombositopenia merupakan tanda khas preeklamsia yang memburuk, dan mungkin disebabkan hemolisis mikroangiopati yang timbul karena vasospasme berat, ada juga yang memperkirakan karena adanya proses imunologi. Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang merusak struktur endotel pembuluh darah juga dapat menerangkan timbulnya sindroma HELLP ini, yaitu karena terjadi “penimbunan” trombosit pada endotel yang rusak tersebut dan terjadinya nekrosis sel-sel hepar, khususnya bagian periportal pada bagian perifer lobulus hepar.4 HELLP sindrom meningkatkan resiko timbulnya infeksi, koagulopati konsumtif, gagal ginjal, sindroma distress pernafasan, infark hepatic hingga ruptur hepar serta cardiopulmonary failure.17

Dikatakan bahwa manifestasi HELLP syndrom bervariasi dari beberapa jam sampai 7 hari post partum, terbanyak berkembang dalam 48 jam post partum. Ada pendapat yang menyatakan bahwa turunnya trombosit dan hemoglobin saja belum dapat dikategorikan sebagai HELLP syndrom, karena tidak ada istilah HELLP syndrom partial.21 Ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa kalau kita menunggu sampai semua manifes artinya kita menunggu sampai keadaan berat.24 Memang ada beberapa klasifikasi HELLP syndrom, antara lain: (1) Missisipi dimana klasifikasi berdasarkan pada jumlah trombosit maternal, yaitu : kelas I jika jumlah trombosit £ 50.000/ ul, > 50.000 kelas II £ 100.000/ul, >100.000 kelas III <> 600 IU/L dan AST > 70 IU/L, dan inkomplit apabila hanya terdapat satu atau 2 gejala seperti di atas. 16,25 karena diagnosis dini dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat akan mempengaruhi prognosis. Penatalaksanaan HELLP syndrom post partum meliputi pengendalian tekanan darah yang lebih agresif, antikonvulsan, pemberian kortikosteroid (dexametason 10-10-5-5/12jam) akan mempercepat penyembuhan HELLP serta mengurangi resiko terjadinya komplikasi maternal yang ditandai dengan meningkatnya produksi urin dan jumlah trombosit, dan menurunnya kadar LDH dan AST.17

Diuresis dapat menurun pada pasien PEB, kemungkinan adanya proses mikroangiopati yang menyebabkan oklusi pembuluh darah glomerulus sehingga filtrasi menurun. Maka untuk menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan keadaan hemostasis pasien, dan dapat diperoleh data PT dan APTT serta fibrinogen dalam batas normal, dengan kadar D-Dimer ≥ 500, yang memberikan kesan adanya pemecahan produk fibrinogen (FDP) yang berarti ada proses mikroangiopati.21 Dapat diberikan heparin 3x2500 U. Biasanya diuresis akan membaik dalam beberapa hari, yang berarti terbukanya oklusi pembuluh darah.

Dalam perawatan dapat terjadi penurunan albumin yang makin memberat. Harusnya segera dilakukan penggantian albumin yang hilang, namun untuk pasien yang sedang mengalami fase poliuri, akan sia-sia, karena albumin yang masuk akan terbuang percuma lewat urin,21 karena itu sambil menunggu fase poliuri lewat dapat diberikan diet tinggi protein dan ekstra telur. Untuk menghilangkan kekhawatiran terbuangnya protein lewat urin tersebut, dilakukan pengecekan proteinuria, jika tidak didapatkan proteinuria maka disimpulkan bahwa endotel pembuluh darah ginjal telah membaik, dan diasumsikan bahwa endotel pembuluh di paru juga membaik.2


TATALAKSANA

Preeklamsia Ringan : (lihat gambar 1)
· Lab rutin : urinalisa dan DPL, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, LDH dan bilirubin
· anjuran istirahat 2 jam siang dan 8 jam malam, jika sukar tidur berikan luminal 1-2 x 30mg/hr, dapat diberikan aspilet 1 x 81 mg / hr, ibu dianjurkan kontrol 1 mg kemudian, jika TD meningkat --> rawat dan th/ antihipertensi :
* methyl dopa 3 x 125 mg / hr dapat ditingkatkan sampai 1500 mg/hr
* Nifedipin 3-8 x 5-10 mg/hr atau adalat retard 2-3x20 mg/hr
* Pindolol 1-3 x 5 mg/hr dapat sampai 30 mg/h

Preeklamsia Berat : (lihat gambar 2)
Terminasi; biochemistry markernya yang sensitif adalah fibronectin, asam urat juga boleh, jika meningkat ® terminasi. (Bowo)

Atenolol : during the first and second trimesters is associated with significantly reduced fetal growth along with decreased placental growth and weight.26 On the other hand, no such effects on fetal or placental growth were reported with other b-blockers, such as metoprolol, pindolol, and oxprenolol, but data on the use of these agents in early pregnancy are very scarce. 26

Methyldopa or labetalol : no adverse maternal or fetal outcome with the use of these medications, none of the exposed newborns had major congenital anomalies.26 A follow up study of infants after 7,5 years showed no long-term adverse effects on development among those exposed to methyldopa in utero,as compared with infants not exposed to such treatment.26

Thiazide diuretics : is not associated with increased risk of major fetal anomalies or adverse fetal-neonatal events. However, their use was associated with reduced plasma volume expansion.26

Nifedipine : in the first trimester, was not associated with increased rates of major birth defects, and did not associated with adverse fetal-neonatal outcomes.26 Nifedipin , adalah calsium channel blocker yang digunakan untuk mencegah spasme pembuluh darah jantung. Merupakan vasodilator perifer yang baik dan juga sebagai tokolitik 27. Nifedipin menurukan tekanan darah dengan cara menurunkan afterload. Teresorbsi secara cepat peroral dalam waktu 30 menit, dengan waktu paruh 2 jam 27.Dosis initialnya 10 mg oral, jika tidak terjadi efek samping dapat diberikan 10-20 mg setiap 4-6 jam tergantung pada tekanan darah. Dosis di atas 120 mg / hari sangat jarang 27.


Pemberian MgSO4 memberikan beberapa efek yang menguntungkan bagi pasien preeklamsia-eklamsia, antara lain: efek vasodilatasi pada vascular bed yang meningkatkan sirkulasi uteroplasenta, meningkatkan aliran darah ke ginjal sehingga memperbaiki filtrasi, meningkatkan pelepasan prostasiklin pada endotel sehingga dapat menyeimbangkan kadar tromboxanA2-prostasiklin sehingga mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan tekanan darah, menurunkan agregasi trombosit, juga efektif sebagai anti kejang tanpa mendepresi susunan saraf pusat.3,12 Sebagai antikonvuulsan perifer, yaitu dengan memblok transmisi neuro muskular yaitu menurunkan pelepasan asetilkolin yang bekerja pada potensial aksi saraf, namun peneliti lain menyatakan bahwa magnesium sulfat dalam terapi tidak pernah mencapai kadar yang cukup tinggi untuk menimbulkan paralisis otot perifer, oleh karena itu cara kerjanya di SSP harus diterangkan.27 Pada saat KOGI VI tahun 1985 satgas gestosis POGI telah menetapkan MgSO4 sebagai obat untuk pengobatan dan pencegahan kejang pada preeklamsia-eklamsia.

Magnesium sulfat 4 g intravena meningkatkan kadar normal 1,6-2,1 mEq/L menjadi 7-9 mEq / L, dan dalam 1 jam difiltrasi lewat glomerulus menjadi tingga 4-5 mEq /L.27 Kadang dapat timbul kejang ulangan setelah bolus, pada keadaan ini dapat diberikan 100-150 mg phenobarbital intravena dengan sangat perlahan-lahan 27 Cara pemberian magnesium menurut Anderso dan Sibai adalah sebagai berikut 27:
· Loading dose : 6 gr MgSO4 dalam 100 cc dex.5% habis dalam waktu 10-15 menit.
· Dosis Meantenance : 2 gr/jam, untuk mencapai kadar 4,8-9,6 mEq /L habis dalam waktu 4-6 jam.
Monitoring : diuresis minimal 30 ml / jam (Mg disekresi lewat urine) , refleks patella harus tetap positip (merupakan tanda pertama, refleks akan menghilang pada kadar 8-10 mEq/L, dalam hal ini Mg harus distop sampai refleks positip lagi) , respirasi rate minimal 14 x / menit (pada kadar > 12 mEq / L akan terjadi depresi pernafasan) 27. Jika timbul tanda-tanda toksisitas, maka kadar magnesium darah harus dievaluasi dan berikan antidotum calsium glukonas 1000 mg dalam 3 menit 27. Magnesium dalam melewati barier plasenta dalam kadar yang sama, sehingga bayi baru lahir dari ibu yang diterapi dengan magnesium sulfat bisa mengalami depresi pernafasan dan hiporefleksi , hal ini tidak atau jarang ditemukan pada pemberian intramuskular27. Magnesium sulfat bekerja secara sinergis dengan obat anestesi umum, sehingga dosisnya harus lebih rendah 27.

Nitrogliserin, karena nitrat mempunyai efek venodilator yang kuat dan juga bersifat arteriodilator, maka dapat menurunkan preload (terutama) dan afterload. Dengan demikian nitrat dapat menurunkan tekanan kapiler paru secara bermakna, sehingga dapat mengurangi ekstravasasi cairan dan telah terbukti dapat mengatasi simptom edema paru. 10 Nitrat akan membentuk radikal bebas NO yang reaktif dalam sel otot polos., yaitu dengan mengaktivasi siklik GMP sehingga terjadi defosforisasi myosin yang pada akhirnya mengakibatkan relaksasi otot polos pembuluh darah, hal ini dapat ikut menurunkan tekanan darah.13,14 Cara pemberian nitrogliserin dimulai dari 5 ug/’ boleh dititrasi hingga maksimal 200 ug/’, demikian juga dengan tatalaksana edema paru yang lain, seperti pemberian diuretik dengan tujuan untuk mengurangi preload.4.15

Ekstraksi pada PK II; dilakukan karena mengedan akan meningkatkan tekanan darah. Post partum segera berikan furosemid 80 mg intravena untuk mencegah back flow agar tidak terjadi edema paru.16 Tindakan segera mengakhiri persalinan secepat mungkin adalah benar.3

Antioksidan; banyak antioksidan yang terbukti berkurang pada preeklamsia. Dengan berkurangnya antioksidan maka resiko kerusakan jaringan akan tinggi. Oleh karena itu diberikan antioksidan seperti vitamin C yang berfungsi sebagai antioksidan nonenzimik yang bekerja secara sinergik dengan tocopherol yang ada pada plasma lipoprotein untuk menangkal radikal hidroksil.18 Dapat juga diberikan N-acetyl Systein (NAC), karena secara rasional gugus thiol yang ada pada NAC merupakan prekusor glutation bentuk tereduksi (reduced glutathion) yang dapat mengatasi defisit glutation.18 NAC sebagai antioksidan bekerja dengan cara memberikan gugus sulfidril bebas (free thiol) yang berkonjugasi langsung dengan oksidan sehingga oksidasi menjadi netral.18 NAC juga dapat merangsang sintesis gama glutamylcysteinglysine (GSH), meningkatkan aktifitas glutahion-S-Otransferase dan menginduksi detoksifikasi.18 Penggunaan NAC jarang sekali ada efek samping serius yang dilaporkan, demikian pula penggunaan jangka panjang sampai 6 bulan bahkan 2 tahun. Bahkan dapat diberikan dalam dosis besar hingga 30 gr/hari dalam 3 kali pemberian.18 Tidak ditemukan efek toksik / efek samping sekalipun ditemukan dalam kadar tinggi di darah tali pusat baik pada binatang maupun pada bayi.8

Ventilator, secara teoritis kelebihan cairan interstisial paru disalurkan melalui beberapa jalur yang berbeda, antara lain: diresorpsi masuk ke intravaskuler, diakumulasi di ruang pleura dan disalurkan melalui system limfatik mediastinum. Pada pasien preeklamsia yang memerlukan ventilator, maka disarankan untuk memberikan PEEP dengan tujuan untuk mencegah kolapsnya jaringan paru pada saat ekspirasi, ternyata PEEP juga dapat mengurangi jumlah cairan di interstisial paru, memang mekanismenya belum diketahui dengan pasti, namun PEEP sebesar 10-20 CmH2O dapat meningkatkan tekanan intrathorak dan meningkatkan tekanan vena sentral sehingga meningkatkan proses drainase limfatik melewati duktus thorakis.19

Pasien PEB dalam ventilator dapat mengalami komplikasi lain, yaitu suatu pneumonia dengan eksaserbasi akut yang dapat disebabkan karena masih adanya stress oksidatif yang ditandai dengan: (1) meningkatnya sekresi mukus terbukti dengan ditemukannya slem dan ronkhi, (2) adanya ronki basah halus yang menandakan masih adanya edema paru sebagai tanda masih adanya kebocoran plasma di interstisial paru atau belum terevakuasinya seluruh cairan dari jaringan paru-paru dan (3) adanya bronkokonstriksi yang ditandai dengan meningkatnya PCO2 dan menurunnya PO2. Stres oksidatif yang timbul baik karena proses PEB yang masih berlanjut ataupun karena adanya infeksi primer di paru, menimbulkan kerusakan jaringan paru, yang dikatakan bahwa dalam waktu 10 sampai 18 jam akan makin melemahkan pertahanan paru terhadap infeksi yang ada.20 Oleh karena antibiotik ceftriaksone tetap diberikan dan rencana pemberian antibiotik selanjutnya sesuai pemeriksaan kultur resistensi.

Pengukur central venous pressure (CVP), dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan intravaskuler. Pemantauan invasif seperti ini harus dipertimbangkan betul-betul untung ruginya, khususnya pada pasien ini dimana terdapat berbagai faktor dan lebih dari satu mekanisme yang menyebabkan timbulnya edema paru, bukan hanya karena overload cairan.4 Yang penting adalah balance cairan negatif dengan input cairan yang tidak berlebihan. Kalaupun CVP terpasang, harus dilakukan pemantauan agar tekanannya tidak melebihi 5 mmHg atau 7 CmH2O. Jika CVP lebih dari level tersebut maka harus diberikan diuretik untuk menurunkannya. Lebih aman membiarkan pasien tersebut “kering” daripada overload hingga timbul edema paru. Dikatakan bahwa total cairan yang diberikan seharusnya tidak melebihi 50 ml/jam ditambah output sebelumnya. Jika pasien mendapat balance positif atau timbul tanda-tanda edema paru maka segera berikan 40 mg furosemid diikuti dengan pemberian 20 g manitol.11

Edema paru berulang dapat saja terjadi karena memang proses PEB yang mungkin masih berlanjut, yang dapat diperberat oleh rendahnya tekanan onkotik intravaskuler karena hipoalbuminemia dan overload cairan dengan balance positif. Pada saat itu maka segera berikan force diuresis untuk mengurangi overload dan diberikan antioksidan yaitu N-Acetyl Systein (NAC). Terbukti bahwa pemberian cairan intravena yang berlebihan yang juga dapat terjadi pada pemberian albumin berbahaya untuk timbulnya edema paru.4 Hal ini terjadi karena makin banyaknya cairan yang masuk ke intravaskuler, makin menurunkan tekanan onkotik, sedang pemberian albumin yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan tekanan onkotik, memang akan meningkatkan tekanan onkotik pada saat-saat pertama, namun dikhawatirkan pada saat selanjutnya akan terjadi ekstravasasi albumin karena adanya “kebocoran” endotel sehingga akan menarik lebih banyak lagi cairan ke ekstravaskuler, yang akan memperberat edema.21

Trombosit; ditransfusi jika < 50.000 ingin sc atau < 20.000 ingin partus pervaginam (Bowo)

Dapat diberikan morfin 3-4 mg iv (ulang/ 3 jam) pada edema paru

Kuretase post partum secara teoritis dapat dilakukan dengan pemikiran bahwa lahirnya janin dan plasenta belum cukup menghilangkan mediator yang menyebabkan preeklamsia. Mediator tersebut masih tersedia dalam jumlah yang cukup banyak di dalam desidua basalis yang masih dapat menimbulkan stress oksidatif, yang menyebabkan proses preeklamsia tetap berlanjut yang dibuktikan dengan: (1) adanya eklamsia post partum, (2) kembalinya tekanan darah ke tingkat normal yang terjadi lebih cepat pada pasien yang dilakukan kuretase post partum dibandingkan dengan yang tidak dan (3) pasien yang tidak responsif terhadap terapi medika mentosa ternyata secara klinis terjadi perbaikan setelah dilakukan kuretase post partum.22,23

Tidak ada ruginya jika selama ANC ibu-ibu hamil diberikan suplemen kalsium, karena dikatakan bahwa kalsium dapat meningkatkan NO2 yang dapat mencegah timbulnya preeklamsia, bagaimana farmakodinamiknya belum kami ketahui. Jika ada riwayat PEB, maka sebelum timbul hipertensi dalam kehamilan berikutnya boleh diberikan aspilet untuk mencegah timbulnya kekentalan darah.









TATALAKSANA

- Istirahat
(2 jam siang, 8 jam malam)
- Luminal 1-3 x 30 mg/ hr, A/ Diazepam 3x2 mg jika susah tidur
- Aspirin 1 x 81 mg
- Kontrol 1 minggu
TD MENINGKAT
(Lab. tidak normal)
Tatalaksana PEB






TD TERKONTROL
(Laboratorium normal)

TD MENINGKAT
Th/ Lanjutkan
ANC / 2 minggu
Metildopa 3 x 125 mg, max 1500 mg/hr
A/ nifedipin 3-8 x 5-10 mg
A/ adalat retard 2-3 x 20 mg/ hr
A/ pindolol 1-3 x 5 mg/ hr, amx 30 mg/hr
Evaluasi 3 hari

TD TERKONTROL
Th/ Lanjutkan
ANC/ 1 minggu
PER
(Urinalisa, DPL, Ureum/creatinin, SGOT/SGPT, bilirubin)

PEB


























Gambar 1. Alur tatalaksana preeklamsia ringan







terminasi
tatalaksana PEB
TATALAKSANA PEB
Antikonvulsan, MgSO4 2-4 g iv dan bokong kanan-kiri masing-masing 4 g IM, dilanjutkan 4 g/ 6 jam IM
Antihipertensi, nifedipin max 120 mg/h
Antioksidan, Fluimucil 1x600 mg oral, vit C/ vit E
Restriksi cairan, 1500-2000 cc/ 24 jam
Ekstrasi PK II
TD Tidak terkontrol
Timbul Komplikasi
Hipoksia Janin
Pertumbuhan Janin Terhambat
konservatif hingga ³ 34 minggu
tatalaksana PEB
< 34 minggu
³ 34 minggu
GAGAL
TATALAKSANA EKLAMSIA
Berikan tatalaksana PEB
Terminasi segera (dalam 2-4 jam)
Perhatikan Airway, O2 3-4 L/menit
Kejang ulang I, ulang MgSO4 2 g bolus selang waktu min 20 menit dari bolus I
Kejang ulang II, phenobarbital 100-150 mg iv perlahan-lahan

TATALAKSANA EDEMA PARU
Restriksi cairan, 1000 cc/ 24 jam
Morfin, 3-4 mg iv (ulang/3 jam)
Antioksidan
Diuretik, furosemid hingga balance cairan negatif, dapat diikuti manitol 20 g
Venodilator, nitrogliserin titrasi mulai 5-200 ug/ menit
TATALAKSANA HELLP SYNDROME
Dexametason, 10-10-5-5 mg/ 6 jam
Trombosit, jika < 50.000 jika SC, < 20.000 jika pervaginam

Gambar 2. Alur tatalaksana preeklamsia berat dan komplikasinya
PEB
(URINALISA, DPL, SGOT/SGPT/ Ur/Cr/ Asam Urat, LDH)



























DAFTAR PUSTAKA

1. Wibowo N. Patogenesis preeklamsia. Makalah seminar konsep mutakhir preeklamsia. Sub.bagian Fetomaternal bagian Obstetrik dan Ginekologi FKUI. Hotel the Acacia. Jakarta. 2001.
2. MacGillivray I. Epidemiology and overview of hypertension in pregnancy. In: Gynaecology Forum. Vol.4, No.1, 1999.p.3-5. Mondejar EF,
3. Mata GV, Cardenas A, Mansilla A, Cantalejo F, Rivera R. Ventilation with positive end-expiratory pressure reduces extravascular lung water and increases lymphatic flow in hydrostatic pulmonary. Critical Care Medicine. Vol.24, No.9, 1996.p. 1562-8.
4. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, Leveno KJ. Hypertensive disorders in pregnancy. In: Williams Obstetrics.Ed 20th. Prentice Hall International Inc.London. 1997; 693-744.
5. Wiknyosastro GH. Diagnosis dan pencegahan preeklamsia. Makalah seminar konsep mutakhir preeklamsia. Sub.bagian Fetomaternal bagian Obstetrik dan Ginekologi FKUI. Hotel the Acacia. Jakarta. 2001.
6. Assche FAV, Pijnenborg R. The pathology of preeclampsia/ eclampsia. In: Gynecology Forum. Vol.4, No.1, 1999.p.10-2.
7. Many A. Hubel CA. Roberts JM. Hyperuricemia and xanthine oxidase in preeclamsia, revisited. Am J Obstet Gynecol 1996; 174:288-91.
8. Wiknyosastro GH. Preeklamsia dan radikal bebas. Makalah seminar konsep mutakhir preeklamsia. Sub.bagian Fetomaternal bagian Obstetrik dan Ginekologi FKUI. Hotel the Acacia, Jakarta. 2001.
9. Shapiro,BA. Clinical application of blood gases. 1st ed. Chicago. Year Book Medical Publisners, Inc. 1976
10. Braunwald E, Colucci WS, Grossman W. Pulmonary edema. In: Heart disease. Philadelphia, WB.Saunders Co. 1997; 462-6.
11. Walker JJ. Management of severe hypertension in pregnancy and/ or ecklamsia-the Glasgow/ Leeds experience. In: Hypertension in pregnancy (Walker JJ, Gant NF). Chapman & Hall Medical. London;1997.p.269-80.
12. Sibai BM. Magnesium sulfate is the ideal anticonvulsant in preeclampsia-ecklampsia. Am J Obstet Gynecol 1990; 162: 1141-5
13. Opie LH. Drugs for the heart. WB Saunders Co. Philadelphia. 1997;31-49
14. Setiawati A. Obat kardiovaskuler, anti angina. Dalam: Farmakologi dan Terapi, ed.3. Bagian Farmakologi FKUI. 1987;278-301.
15. Khan MG. On call cardiology. Philadelphia. WB.Saunders Co.1997; 218-20
16. Saphier CJ. Repke JT. Hemolysis, elevated liver enzyme and low platelets (HELLP) syndrome: a review of diagnosis and management. Seminar in perinatology. 1998; 22: 118-33.
17. Magann EF. Perry KG. Meydrech EF. Chauhan SP. Martin JN. Postpartum cortikosteroids: Accelerated recovery from the syndrome of hemolysis elevated liver enzymes, and low platelets (HELLP).Am J Obstet Gynecol 1994; 171: 1154-8.
18. Suherman SK. Farmakologi antioksidan. Makalah simposium peranan radikal bebas dan antioksidan pada sejumlah penyakit. Bagian farmakologi dan terapeutik FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo. Jakarta;2001:15-21.
19. Sammour MB. Management of preeclampsia and eclampsia. In: Gynecology Forum. Vol.4, No.1, 1999.p.22-4.
20. Yunus F. Pengaruh radikal bebas pada penyakit paru obstruktif kronis. Makalah symposium peranan radikal bebas dan antioksidan pada sejumlah penyakit. Bagian Pulmonologi FKUI/SMF Paru RSUP Persahabatan . Jakarta. 2001: 49-60.
21. Wibowo N. Diskusi pribadi. Sub.bagian Fetomaternal bagian Obstetrik dan Ginekologi FKUI-RSCM.
22. Hunter CA, Howard WF, McCormick. Amelioration of the hypertension of toxemia by postpartum curettage.Am J Obstet Gynecol 1961; 81: 502-6.
23. Magann EF, Martin JN, Isaacs JD, Perry KG, Martin RW. Immediate postpartum curettage: accelerated recovery from severe preeclampsia. Obstet Gynecol 1993; 81: 502-6.
24. Wiknyosastro GH. Diskusi pribadi. Sub.bagian Fetomaternal bagian Obstetrik dan Ginekologi FKUI-RSCM.
25. Berton JR. Sibai BM. HELLP and the liver disease of preeclampsia. Clinics in liver disease. 199;3:31-47.
26. Sibai BM. Chronic hypertensive in pregnancy. ACOG, vol.100, no.2, august 2002.
27. Arias F. Preeclamsia and Eclamsia. In : Practical Guide to High-Risk Pregnancy and Delivery. Ed. 2nd Mosby Year Book. 1993.183-208
28. Wishnuwardhani SD. Diagnosis dan penanganan dini preeklamsia. Dalam: Penatalaksanaan preeklamsia-eklamsia. Bagian Obstetri Ginekologi FKUI-RSCM. April 1998; 13-6
29.